Rabu, 08 Juni 2011

Membangun Kepuasan Pelanggan yang Bernilai Tambah

Membangun Kepuasan Pelanggan yang Bernilai Tambah


Pengertian kepuasan pelanggan (customer satisfaction/CS) terhadap suatu produk sampai kapan pun mestinya tidak berubah. CS tetap bermakna perbandingan antara apa yang diharapkan konsumen dengan apa yang dirasakan konsumen ketika menggunakan produk tersebut. Bila konsumen merasakan performa produk sama atau melebihi ekspektasinya, berarti mereka puas. Sebaliknya jika performa produk kurang dari ekspektasi konsumen, berarti mereka tidak puas.

Akan tetapi, jujur saja, jika CS cuma dipahami sebatas itu, upaya menyikapinya bisa membelenggu sebagian besar pemilik produk. Karena, mereka kemudian hanya terpaku pada bagaimana memuaskan pelanggan, tanpa melihat proses apa yang sedang berjalan. Pemilik produk melihat CS sebagai bagian yang terpisah, bukan menyatu dengan setiap proses produk itu sendiri. Akibatnya, mudah ditebak: pemilik produk lebih suka memilih jalur cepat memuaskan pelanggan. Misalnya, mengguyur hadiah atau memberikan layanan artifisial. Semua itu dimaksudkan supaya dapat mendongkrak ekspektasi konsumen.

Agus W. Soehadi, Direktur S-1 Prasetiya Mulya Business Shool mengatakan, pemikiran CS semacam itu kini tidak relevan lagi. Pasalnya, harapan konsumen berbeda-beda. Melihat kecenderungan penerapan CS di banyak perusahaan, Agus berpendapat, Sangat tidak masuk akal jika pemilik produk menyamaratakan ekspektasi konsumennya dengan menerapkan CS yang sama ke semua pelanggan.Jika hal itu terus berlangsung,  ia malah melihat, akan buang-buang duit saja karena penanganan CS tidak fokus.

Hal yang sama juga diingatkan Jacky Mussry, konsultan MarkPlus & Co. Menurut Jacky, CS yang diproduksi sekadar memenuhi syarat dan tidak ada konsepnya biasanya hambar dan menjadi generik. Akibatnya lagi, program CS tidak bisa dibedakan satu dengan yang lain,ujarnya. Ia menengarai program CS sudah menjadi barang komoditas, karena bisa berlaku dan diaplikasikan untuk semua jenis produk dan jasa.

Sekarang CS harus dilihat dalam perspektif lebih luas, Jacky menegaskan. Menurutnya, penerapan CS sekarang harus yang memiliki nilai tambah(value added) dan menyatu dalam proses produk. Dengan kata lain, penerapan CS harus dirancang secara konseptual dengan mempertimbangkan objektif dan nilai tambah bagi konsumen (pelanggan). Dalam hal ini, menurutnya, dengan memiliki konsep, CS yang ditawarkan tidak lagi me too, melainkan sudah mengarah ke penciptaan nilai-nilai baru bagi konsumen ataupun perusahaan.

Gambaran serupa disampaikan Pepey Riawati Kurnia, staf di Lembaga Manajemen PPM yang kini tengah mengambil program S-3 Pemasaran di Universitas Indonesia. Menurut Pepey, sejak awal CS harus diyakini dapat memberikan profitabilitas jangka panjang bagi perusahaan. CS berhubungan positif (signifikan) dengan shareholder value. CS akan mengarahkan pelanggan membeli lebih banyak lagi, sehingga menurunkan biaya akusisi dan transaksi, meningkatkan revenue, yang akhirnya memengaruhi besarnya net cash flow. CS menggerakkan penetrasi pasar menjadi lebih cepat sehingga mempercepat pula cash flowyang didapatkan.

Pepey juga membenarkan, CS yang lebih besar juga memungkinkan perusahaan menerapkan harga lebih tinggi atau paling tidak bertahan terhadap tekanan untuk menurunkan harga. Makin besar CS, makin besar shareholder value, yang akan meningkatkan toleransi harga. Pendeknya, jika ada CS, akan tumbuh customer loyalty. Dari sana akan muncul customer retention. Jika customer retention-nya banyak, maka akan meningkatkan volume penjualan, sehingga cash flow bagus. Dengan begitu, akan meningkat pulashareholder value, ujar Pepey panjang lebar. Ia menandaskan, kadar kebutuhan CS setiap produk sangat tidak terukur.

Itu sebabnya, perusahaan harus menetapkan strategi yang jelas untuk menggerakkan kepuasan yang lebih besar sehingga mendapatkan penjualan yang lebih tinggi dari pelanggan yang paling bernilai. Hal itu dapat dimulai dengan membanguncustomer-centric organization yang mengeksekusi strategi satisfaction, tulis Pepey dalam makalahnya, Customer Satisfaction dan Shareholder Value, yang ditulis bersama sejawatnya di program S-3 Pemasaran, UI, Pantri Heriyati dan Nurdin Sobari. Dalam hal ini, manajemen dapat menggunakan investasi teknologi agar lebih efektif mengidentifikasihigh-value customer dan menggerakkan CS, menciptakan solusi yang sesuai untuk memperbaiki CS, serta secara berkelanjutan mengukur hasilnya guna menangkap value yang ada.

Customer-Centric Organization ini, menurut Pepey dkk., dapat dibangun dengan memasukkancustomer focus ke dalam objektif strategi dan bisnis atau dengan merancang ulang interaksi pelanggan dan proses dukungan untuk melayani high-value custom.Perusahaan sebaiknya merancang ulang proses dan sistem untuk bertemu customerberdasarkan pemahaman prioritas high-value customer didahulukan,tulis Pepey dkk. Mereka sering melihat, perusahaan cenderung ke company centric dengan memprosesnya secara otomatis daripada customer centric.

Strategi membangun CS yang ditawarkan Pepey dkk. ini bisa jadi akan lebih hemat dan efisien — tidak seperti yang terjadi sekarang, umumnya penerapan CS selalu berbiaya mahal — sangat segmented, dan sangat konstekstual. Pasalnya, ditegaskan Agus, sesungguhnya penerapan CS selalu terkait dengan jenis pelanggan, jenis industri dan pertumbuhan industri. Tidak ada CS yang sama untuk semua jenis produk dan jenis industri, katanya meyakinkan. Agus mencontohkan, untuk industri yang sedang tumbuh, akan terlalu mahal dan berlebihan jika menggunakan CS. Pada industri yang sedang tumbuh, biaya meraih pelanggan akan lebih murah, ketimbang untuk biaya CS. Apalagi, fokus perusahaan juga masih pada pengembangan bisnis dan ekspansi. Lain halnya dengan produk yang industrinya sudah mature, meraih pelanggan baru jauh lebih mahal ketimbang menjaga pelanggan yang sudah ada. Di sini peran CS akan sangat penting. Kontribusi terhadap profitabilitas ke depan akan lebih besar.

Dari sisi pelanggan, strategi CS yang terkonsep juga akan lebih fokus dan jitu. Pengalaman yang selama ini berjalan, diungkapkan Jacky, perusahaan cenderung melayani pelanggan terlalu banyak. Dengan maksud tidak ingin kehilangan salah satu di antara pelanggannya dan tidak mau repot, perusahaan sering menyamaratakan CS yang digarap. Padahal, ekspektasi kepuasan konsumen tidak sama dan target pasar perusahaan juga spesifik. Kalau begitu caranya, malah tidak kena semuanya,ujar Jacky. Ia mengingatkan, perusahaan tidak perlu memaksakan diri bisa memuaskan semua konsumennya. Harus disadari bahwa kemampuan perusahaan itu terbatas, sehingga kalau sudah memilih target pasar tertentu, perusahaan harus yakin dengan sumber dayanya dan strateginya dapat memenuhi ekspektasi yang diinginkan pelanggannya.


Menerapkan CS yang efisien dan bernilai tambah, Agus menyarankan, dimulai dengan cara pemilik produk/merek mempelajari tipe-tipe dan karakter pelanggannya, baru kemudian memberikan prioritas siapa yang akan ditangani kepuasannya lebih dulu. Dalam hal ini, menurutnya, ada dua tipe pelanggan. Pertama, pelanggan oportunistis. Bagi pelanggan tipe ini, selama perusahaan rajin memberikan hadiah atau harga murah, apa pun layanannya, mereka tidak akan pindah. Namun, jika perusahaan menaikkan harga bersamaan dengan kenaikan layanan, pelanggan jenis ini takkan peduli. Ia tetap memilih pindah, mencari produk/jasa lain yang lebih memuaskan. Untuk tipe seperti ini, menurut Agus, program CS seperti apa pun bakal sia-sia. Kedua, pelanggan relationship. Yakni, pelanggan yang sangat menghargai layanan. Dengan demikian, program CS akan sangat berdampak bagi mereka. Bahkan karena penghargaannya itu, mereka menjadi sangat loyal.

Tentu, agar CS dapat dilaksanakan, butuh dukungan sistem TI yang kuat. Yakni, sistem yang dapat mengetahui karakter pelanggan dari database – siapa saja yang menguntungkan perusahaan. Tujuannya bukan bermaksud menghalangi pelanggan karakter lain, melainkan untuk menunjukkan pelanggan lainlah yang memberikan keuntungan bagi perusahaan,Agus menjelaskan.

Intinya, perusahaan dituntut lebih cerdas mencermati fenomena CS. Artinya, membangun CS tidak mungkin hanya bermodal semangat ikut-ikutan, supaya tidak ketinggalan zaman. CS pada prinsipnya harus berujung pada peningkatan shareholder value. Dengan demikian, CS tidak mungkin berdiri sendiri dalam strategi perusahaan, melainkan harus menyatu dalam setiap proses. Itu sebabnya, Bank Niaga, seperti disampaikan Yos Badilangoe, Direktur Jaringan dan Layanannya, terus melakukan perbaikan strategi CS-nya yang diterapkan sejak 1993. Kami menyadari pelanggan terus berubah dan kebutuhannya juga lain-lain, sehingga CS yang kami berikan juga selalu berkembang,ujarnya. Bahkan, karena Bank Niaga sangat menyadari CS terus bergerak dan tiada batasnya, filosofi CS-nya yang baru berbunyi: Bank Niaga Melayani Melampaui Kepuasan Nasabah

Konsekuensi filosofi baru ini, Bank Niaga melahirkan program-program baru yang berorientasi kualitas layanan. Itu sebabnya, kini dalam organisasi ada jaringan layanan per area. Di tiap area itu, bank ini memiliki Komite Kualitas Layanan. Di atasnya, ada Manajer Area Kualitas Layanan. Lalu, di atasnya ada Manajer Area Layanan Jaringan yang langsung bertanggung jawab ke Direktur Jaringan dan Layanan. Tugas kami memantau apakah semua program service quality berjalan dengan benar,ungkap Yos yang menggunakan konsultan luar untuk membangun organisasi ini. Karena sudah menjadi sistem, kekurangan dan kelebihan pelaksanaan service quality bisa terpantau, lanjutnya tentang manfaat unit organisasi barunya.

Bagi perusahaan jasa, CS memang mutlak diperlukan.Menurut Yos, CS merupakan bagian hidup Bank Niaga yang tak terpisahkan. Pria berdarah Flores ini mengatakan, bagi banknya, setiap proses kerja ada level pemuasan layanan untuk menuju ke proses berikutnya. Tiap bagian menandatangani service level agreement untuk pemuasan layanan itu,kata Yos menunjukkan tertatanya kontrol CS di perusahaannya.

Tak berbeda dari Bank Niaga, Pujobroto, Kepala Humas Garuda Indonesia, memastikan bahwa ada keharusan yang tidak bisa dibantah agar konsumen terpuaskan. Sebagai perusahaan pelayanan di jasa penerbangan, Garuda hidup dan tumbuh karena melayani. Karena itu, Garuda menyiapkan tonggak-tonggak penting yang ingin dicapai hingga lima tahun ke depan. Tonggak-tonggak itu secara spesifik menunjuk pada program-program CS yang dijalankan, dari prapenerbangan, dalam penerbangan, hingga pasca penerbangan. Kami juga menyiapkan CS untuk sebelum pre flight, ungkap Pujo menunjuk pembenahan Call Center dengan mengganti nomor yang lebih mudah diingat: 0807-1-807807.

Saya kira, pokoknya, di penerbangan, aspek kemudahan, pilihan, dan kenyamanan menjadi (hal) utama,ujar Pujo. Maksudnya, CS yang diinginkan konsumen penerbangan ujung-ujungnya adalah mendapat kemudahan, memiliki pilihan dan mendapat kenyamanan. Maka, dengan mencanangkan tonggak-tonggak rencana pelayanan, akan lebih mudah dan jelas bagi perusahaan mencapai arah peningkatan CS Garuda.

Sejauh ini, dikatakan Pujo, Garuda sebenarnya sudah memiliki peranti CS yang cukup valid. Di antaranya, Garuda Fruquent Flyer (GFF) yang anggotanya 100-an ribu orang. Anggota GFF memperoleh layanan spesial, mulai dari saat membeli tiket hingga di atas pesawat. Bahkan September ini, anggota GFF mendapat layanan baru, yakni lounge.Penumpang maskapai lain atau ekonomi tidak boleh masuk, meskipun berbekal kartu kredit,ujar Pujo. Ini dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan kepada anggota GFF.

Penerapan CS Garuda ini dipuji oleh Agus W. Soehadi. Kehadiran GFF memperlihatkan bahwa Garuda mengetahui karakter pelanggan dan kebutuhannya, serta berani memberikan prioritas layanan kepada pelanggannya. Prinsip CS memang tidak sekadar bicara kebutuhan konsumen, melainkan juga aspek-aspek lain, seperti hedonis atau simbolis yang bisa mendorong konsumen menjadi loyal. Pelanggan puas bukan sekadar karena mendapatkan keamanan dan kenyamanan. Bisa jadi aspek hedonis dan simbolis juga menjadi tuntutan anggota GFF yang spesial itu

Penerapan dan kebutuhan CS di perusahaan consumer goods agak berbeda. Seperti dikatakan Vidjongtius, Sekretaris Korporat PT Kalbe Farma, CS lebih mudah masuk dalam budaya perusahaan. Misalnya, filosofi Sebelas Perilaku Kalbe Service for Excellence yang terpampang di dinding, menurutnya, adalah jalan untuk mencapai pelayanan yang sempurna . Menurut Vidjongtius, sejak awal Kalbe percaya, bukan hanya menghasilkan produk, tapi juga jasa, karena ada beberapa produknya yang sampai ke tangan konsumen lewat rumah sakit. Kami memberikan pelatihan kepada rumah sakit, sehingga mereka meneruskan ke pasien agar hasilnya baik dan memuaskan, ujarnya.

Hal yang sangat disadari Kalbe, CS tidak hanya muncul dari fungsi semata. Misalnya, obat yang diminum benar-benar berkhasiat. Namun, lebih dari itu, kepuasan bisa menyangkut reformulasi, redesain kemasan, distribusi, kegiatan sosial, promosi, dan sebagainya. Semua itu bisa menjadi elemen kepuasan yang dapat memengaruhi keberhasilan produk.Yang penting, CS harus dilakukan konsisten agar terasa hasilnya dan diikuti dengan memberikan berbagai program,urai Vidjongtius. Hal itu untuk menyiasati kenyataan bahwa karakteristik konsumen beragam. Program-program yang diberikan, katanya, …“harus sesuai dengan masing-masing karakter konsumen.

Pada akhirnya, yang penting dalam membangun CS adalah tidak menjadikannya sebagai jargon. Agus menekankan, CS bukan alat promosi atau alat untuk menghias diri perusahaan. Jika cuma itu tujuannya, selain menguras biaya besar, juga tidak menghasilkan apa-apa. Jauh lebih baik, CS menjadi bagian organisasi, yang memiliki nilai tambah, dan jelas-jelas memberikan kontribusi bagi kemajuan perusahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar